ABSTRAK Dalam jangka panjang Indonesia diperkirakan masih harus mengimpor beras untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat. Meningkatnya biaya produksi, keterbatasan tenaga kerja, disis lain harga komoditi padi relatif tetap telah mempersulit upaya menuju swasembada beras. Kegiatan tanam pada budidaya padi memerlukan banyak tenaga, yakni sekitar 25 % dari seluruh kebutuhan tenaga kerja budidaya. Teknologi mekanisasi budidaya padi telah banyak diintroduksikan, namun sampai saat ini belum sepenuhnya dilaksanakan. Mekanisasi sebagai alternatif solusi tenaga tanam dilaksanakan dengan penggunaan alsin penanam bibit padi (rice transplanter). Rice transplanter teknologi Korea, Taiwan maupun China yang dinilai lebih terjangkau dari segi harga, saat ini telah dimiliki dan mulai digunakan di beberapa daerah di Jawa bersamaan teknologi pembibitan padi hemat lahan. Penggunaan rice transplanter di Indonesia mempunyai prospek yang cukup baik, melihat usaha jasa alat mesin pertanian (UPJA) yang telah berjalan baik di Jawa dan penggunaan rice transplanter ini ke depan akan menjadi kebutuhan petani padi dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut.
PENDAHULUAN Pemerintah bertekad mewujudkan kembali swasembada beras pada 2010, seperti yang pernah dicapai pada tahun 1984. Untuk itu pemerintah mencanangkan peningkatan produksi beras 2 juta ton pada tahun 2007dan pertumbuhan produksi beras minimal 5% per tahun hingga tahun 2009. Salah satu ajuran teknologi yaitu melalui pendekatan PTT padi sawah, dimana terdapat 11 komponen mulai dari benih sampai dengan rekomendasi cara panen. Didalam komponen PTT memang belum disebutkan faktor untuk memproduksi padi yang menyangkut kebutuhan tenaga kerja mulai dari tenaga untuk pengolahan tanah sampai dengan tenaga untuk panen. Perlu diketahui bahwa sumbangan produksi padi secara nasional masih didominasi oleh pulau Jawa (berkisar 60 %). Kondisi di pulau Jawa dengan infrastruktur irigasi yang masih cukup baik dibanding di luar Jawa dan ditunjang indeks pertanaman yang umumnya lebih tinggi dibanding luar Jawa. Faktor produksi berupa tenaga kerja perlu mendapat perhatian. Kondisi saat ini tenaga kerja untuk penyiapan lahan yang meliputi pengolahan tanah ke 1 ke 2 dan pelumpuran serta perataan di hampir seluruh wilayah Indonesia didominasi traktor roda dua baik yang menggunakan implemen singkal maupun rotary. Berlanjut pada kegiatan penanaman, yang mana kondisi pada saat ini masih didominasi tenaga kerja secara manual tanpa bantuan peralatan, mulai dari penyiapan bibit sampai dengan pindah tanam sehingga jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan cukup banyak.
Berbagai pengalaman tentang tanam benih di beberapa negara antara lain seperti disampaikan oleh Osamu,1992 bahwa penanaman benih langsung diaplikasikan di Jepang karena keterbatasan tenaga. Namun hasilnya lebih rendah dibanding tanam pindah karena pertumbuhan benih rendah dan masalah gulma. Cara tanam ini mendominasi lahan mencapai puncaknya pada tahun 1974 yaitu mencapai lebih dari 50.000 ha. Penanaman dilakukan pada lahan yang dikeringkan, sedangkan pada lahan digenangi hanya mencapai sekitar 3.000 ha. Luasan tersebut kemudian menurun menjadi 5.400 ha pada lahan dikeringkan dan 2.300 ha pada lahan digenangi pada tahun 1990. Penurunan ini disebabkan karena berkembangnya penggunaan transplanter.
Di Amerika Serikat cara tanam benih padi seperti disampaikan oleh Shigemi A, 1992 adalah sebagai berikut: Di California, penaburan benih yang telah berkecambah secara sebar pada lahan yang digenangi dilakukan dari pesawat terbang. Pada lahan yang dikeringkan di wilayah selatan penanaman
benih menggunakan mesin tanam benih (seeder) yang ditarik traktor. Kebutuhan benih berkisar antara 80 kg – 110 kg per ha. Namun dengan pertimbangan biaya, maka penyebaran benih pada lahan digenagi juga berkembang di wilayah ini. Kebutuhan benih mencapai 90 – 150 kg per ha. Tingginya kebutuhan benih ini disebabkan karena disamping jumlah anakan yang rendah juga karena persentase pertumbuhan yang rendah karena digenangi terus menerus sampai menjelang panen.
Menurut Yoshinori, 1992 cara tanam benih mulai diadopsi di Malaysia sejak tahun 1970, khususnya di Muda. Latar belakang munculnya cara ini pada awalnya karena panen padi menggunakan mesin panen menimbulkan ceceran gabah yang banyak bahkan dapat mencapai 180 kg per ha, atau jauh lebih banyak daripada kebutuhan benih untuk luasan tersebut. Ceceran ini kemudian dibiarkan dan menjadi tanaman padi pada musim berikutnya. Pada tahun 1978 diperkenalan dua sistem tanam yaitu sistem kering dan sistem basah. Sejak 1980 area tanam benih meningkat pesat, hingga pada tahun 1989 mencapai 52% pada musim pertama dan 76% pada musim kedua. Namun dilaporkan pula bahwa dengan penerapan tanam benih tersebut menunjukkan terjadinya penurunan hasil yang juga bervariasi oleh musim. Adapun alasan pesatnya perkembangan tanam bernih adalah karena keterbatasan air sehingga apabila menerapkan cara tanam pindah maka dapat terjadi keterlambatan tanam. Ditambahkan pula bahwa dengan tujuan meningkatkan efisiensi tenaga kerja, namun tanam pindah secara mekanis belum berkembang karena alasan teknis dan ekonomis, sehingga tanam benih dipilih sebagai alternatif.
Rice transplanter di negara Korea mulai direkayasa pada tahun 1966 dan baru menghasilkan prototipe transplanter manual sistem dapok pada tahun 1971, sebagai model untuk pengembangan transplanter ke depan. Namun demikian alsin ini kurang berkembang karena masuknya power rice transplanter yang kapasitasnya lebih besar. Beberapa pabrikan yaitu seperti Kukje Machinery, Tongyang Molsan, Daedong Machinery. Mulai dari tahun 1977 populasi menjadi 302.934 pada akhir 1997. Di negara China penyebaran dan pengembangan rice transplanter secara besar-besaran untuk provinsi Jiangsu Dimulai pada tahun 2001 dengan diawali kerjasama dengan negara Korea Selatan. Sampai dengan tahun 2007 luas lahan yang ditanam menggunakan rice transplanter sebesar 6.272.000 mu ( 376.000 ha). Kerjasama dengan Korea ditujukan untuk menghasilkan prototipe rice transplanter yang adaptable, biaya operasional murah. Harga jual 1 unit rice transplanter 4 row sebesar 20.000 yuan (Rp 26.000.000).
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran secara teknis dan ekonomis penggunaan rice transplanter bermotor serta kemungkinan diterapkan atau diaplikasikan di Indonesia untuk mendukung Budidaya padi sawah. Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah rewiew literatur literatur dan data sekunder di lapangan untuk selanjutnya dilakukan analisa dan pembahasan
HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam makalah ini ingin disampaikan hasil studi salah satu negara dengan jumlah penduduk lebih dari 1 milyar yaitu China yang cukup konsisiten menerapkan kebijakan ketahanan pangan , salah satunya adalah pangan beras. Situasi di China dengan pertumbuhan industri yang cukup pesat mendukung untuk diterapkannya teknologi mesin tanam rice transplanter karena persaingan tenaga kerja sektor pertanian dan industri. Namun awalnya di China pengenalan rice transplanter dengan teknologi lokal seperti pada gambar 1, banyak mengalami hambatan terutama untuk kerja dan ketahanan mesin ini belum memuaskan. Jalan keluar yang ditempuh untuk mengatasi hal tersebut dilakukan kerjasama teknik dengan Korea maupun Jepang untuk mengadopsi bentuk atau tipe rice transplanter yang berkembang baik di kedua negara tersebut. Seperti diketahui bahwa harga jual rice transplanter Jepang maupun Korea terlalu tinggi untuk diterapkan di China, hal tersebut berbeda kondisi apabila diterapkan di kedua negara tersebut karena nilai jual komoditi beras juga cukup tinggi sehingga secara eknomis layak. Pada tahun 2000 sampai dengan 2002 dilakukan kerjasama teknik dengan beberapa perusahaan Korea seperti Tongyang Molsan (TYM) dan Jepang yaitu Kubota untuk mendesain dan memproduksi rice transplanter di China.
Gambar 1. Rice tranplanter type riding (China Type) Hasil kerjasama teknik pengembangan proptotipe rice transplanter dengan korea menghasilkan rice transplanter seperti pada gambar 2. Beberapa keungggulan teknik adalah memiliki manuver lincah, lebih ringan, mudah dioperasikan, serta ketahanan kerja cukup baik.
Prototipe rice tranplanter hasil kerjasama teknik dengan Korea & Jepang di China Hal berikutnya yang perlu mendapatkan perhatian adalah perubahan mendasar pada sistem pembibitan (nursery system), dari sistem pembibitan untuk pindah tanam dengan tangan ke pembibitan yang sesuai dengan mesin rice transplanter. Sistem pembibitan rice transplanter dengan sistem bibit menyerupai karpet (mat type nursery) merupakan suatu revolusi sistem pembibitan bagi petani yang akan beralih ke teknologi rice transplanter. Bibit padi disiapkan pada kotak bibit 28 x 58 cm dengan tebal tanah 2,5 – 3 cm umur, umur bibit 15 – 20 hari, sekitar 200 kotak/ha. Biaya penyiapan bibit seperti itu cukup mahal terutama dalam hal penyediaan kotak plastik, seperti pada Gambar 3a. Di China untuk menekan biaya bibit dilakukan suatu penelitian dan percobaan penyiapan bibit dengan sistem plastik ganda (double layer plasttic) seperti pada gambar 3b, dan terbukti cukup sukses dikembangkan dilevel petani dengan penghematan yang cukup besar sehingga turut menyokong suksesnya pengembangan rice transplanter. Hal berikutnya untuk mempercepat keberterimaan dan suksesnya penggunaan rice transplanter pada beberapa wilayah adalah usaha melakukan riset serta demo pada lahan-lahan percobaan di daerah (ektentioan center) diikuti penyebaran informasi mengenai standar prosedur operasional (SOP) yang disesuiakan dengan wilayah masing-masing. Informasi SOP untuk rice transplanter dimulai dari penyiapan /pengolahan tanah sampai dengan perawatan tanaman setelah tanam ini sangat penting, karena keberhasilan penyebaran teknologi rice transplanter dapat dikatakan secara teknis 30 % adalah unjuk kerja mesin, 30 % penyiapan bibit, 30 % adalah SOP penyiapan lahan dan perawatan tanaman.
3b. 3a. Gambar 3. Sistem bibit kotak permanen (rigid box) 3a dan sistem bibit plastik dobel (double layer plastic) 3b. untuk rice transplanter Di Indonesia penggunaan rice transplanter sudah dimulai cukup lama sekitara tahun 1986 dengan teknologi rice transplanter dari Jepang yang dikomandoi oleh Balai Benih Padi dibeberapa daerah. Hasil dilapangan dapat dikatakan secara teknik apabila SOP pengolahan tanah , penyiapan bibit dan perawatan dilakukan dengan benar menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dibanding tanam dengan tangan. Namun evaluasi secara ekonomis kurang layak karena harga beli (purchase cost) sangat tinggi sesuai standar harga di Jepang. Dengan berkembangnya rice transplanter di negara Korea dan Taiwan beberapa konsumen dan lembaga pemerintah mencoba memasukkan teknologi rice transplanter dari Korea dan Jepang dimulai tahun 2000. Berbeda dengan teknologi rice transplanter dari Jepang, teknologi dari Korea dan Taiwan secara eknomis lebih menguntungkan karena harga beli (purchase cost) lebih rendah.
Seiring berkembangnya sektor industri di Indonesia terutama pada wilayah perkotaan juga mempengaruhi ketersediaan tenaga tanam padi sawah pada daerah marginal. Secara statistik belum dilakukan survey untuk mendapatkan angka gambaran ketersedian tenaga tanam dibandingakan dengan luasan tanam dan waktu tanam yang tersedia tidak terlalu lama karena tergantung cuaca dan ketersediaan air irigasi. Namun secara visual dapat dilihat bahwa tenaga tanam padi sawah yang umumnya didominasi wanita saat ini komposisi (lebih 90 %) usianya diatas 50 tahun. Hal tersebut menunjukkan minat generasi muda untuk menjadi tenaga tanam sudah berkurang, prediksi 5 sampai 10 tahun kedepan beberapa daerah sentra produksi padi akan mengalami kesulitan tenaga tanam padi sawah. Berikut ini juga disajikan upah tenaga tanam diberbagai daerah di Indonesia seperti tertera pada tabel 1. Lokasi Biaya tenaga kerja untuk semai (Rp/ha) Biaya tenaga kerja untuk tanam bibit (Rp/ha) Penggunaan benih padi
(kg/ha) Sumedang 36.375 320.000 37 Majalengka 52.430. 327.000 37,6 Cianjur 99.000 345.500 36 Sukoharjo 93.000 370.000 38,7 Jembrana 63.000 370.000 47 Buleleng 69.000 380.000 51 Rata-rata 69.000 352.000 41,2 Tabel 1. Biaya tenaga kerja untuk tanam pada budidaya padi sawah tahun 2005. Analisa ekonomi untuk penerapan rice transplanter di Indonesia untuk kondisi saat ini dalam tulisan ini belum ditampilkan secara rinci. Komposisi biaya untuk budidaya padi sawah, dimulai dari pengolahan tanah bervariasi berkisar Rp 500.000 s/d Rp 750.000 per ha dan umumnya menggunakan traktor tangan (harga beli 18 juta) dengan kapasitas sampai siap tanam 0,5 ha/hari , biaya tanam juga berkisar Rp
500.000 s/d Rp 750.000 per ha dengan tanam manual tangan. Analisa ekonomi penggunaan traktor tangan untuk pengolahan tanah dengan sistem sewa jasa (UPJA) cukup layak dan menguntungkan asalkan luasan garapan olah minimal per tahunnya terlampau sekitar 30 ha. Sebagai perbandingan rice transplanter harga beli 40 juta setara dengan 2,2 kali lipat harga beli traktor roda dua, kapasitas rice transplanter 5 jam / ha ( 1 ha/hari) atau setara 2 kali lipat kapasitas traktor tangan, sehingga dari perbandingan nilai tersebut secara ekonomi ada peluang bagi rice transplanter untuk dioperasikan dengan sistem sewa jasa (UPJA) seperti traktor tangan.
Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian telah mencoba melakukan pengujian rice transplanter merk Kubota yang diproduksi di China berlokasi di Sukamandi Subang pada tahun 2008. Pengujian dilakukan menggunakan bibit padi Ciherang, kepadatan bibit benih padi per kotak (28 x 58 cm) 150 gram, umur bibit 15 hari, jarak tanam antara baris 30 cm, jarak tanaman dalam baris 14 – 15 cm, jumlah tanaman per rumpun 2 – 4 tanaman/rumpun, kondisi olah tanah sawah sempurna dengan kedalaman kaki (foot sinkage 10 – 15 cm), konsumsi kotak bibit 200 kotak/ha, kapasitas penanaman 5,5 jam/ha, prosentase bibit kosong 5,5 %, populasi rumpun per ha secara teori dapat diatur dari 180.000 s/d 250.000 /ha.
KESIMPULAN
1. Secara teknis teknologi rice transplanter dapat digunakan di Indonesia asalkan teknologi anjuran dan SOP yang penyiapan lahan, penyiapan bibit, dan perawatan tanaman dipenuhi. 2. Secara ekonomis terdapat peluang untuk digunakan sebagai substitusi tenaga tanam dengan tangan melalui sistem UPJA. 3. Dengan berkembangnya teknologi rice transplanter di negara Taiwan, China dan Korea Indonesia untuk tahap awal dapat memanfaatkan teknologi tersebut, dan kedepan mencoba untuk mengembangkan didalam negeri. 4. Usaha tani padi masih menguntungkan secara ekonomi. Maka intensifikasi untuk meningkatkan produksi masih memungkinkan. Masalah keterbatasan tenaga kerja harus dicari alternatifnya antara lain dengan penggunaan mekanisasi budidaya termasuk penanaman bibit padi. Mekanisasi disamping mendukung intensifikasi juga diharapkan akan meningkatkan keuntungan usaha tani karena biaya budidaya menjadi lebih rendah.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1995. RNAM Test Code & Procedure For Farm Machinery, Test Code and Procedure for Rice Transplanter, Techinical Series No. 1. Economic and Social Commission for Asia and Pacific RNAM. Anonim, 1999. ESCAP/RNAM Regional Workshop on Mechnaization of Rice Transplanting and Seeding, Joint Organized by National Agricultural Mechanization Research Institute Rural Development Administration, Republik of Korea. Yanglin, 2007. The Development of Paddy Production Mechanization in China, Agro Mechanization Technology Development and Extension Center, Ministry of Agriculture. Astanto, M Djojomartono, E Namaken Sembiring, Radite P.A.S, E. Eko Ananto, 1999. Rekayasa Lengan Penanam Tipe Empat Batang Kait Bawah untuk Padi Sawah. Anonim, 2007. Petunjuk Teknis Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi Padi Sawah Irigasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Yosinori, 1992. Rice Farmer and Direct Seeding Culture in Peninsula Malaysia. Farming Japan vol 26-1, 1992. P 27 – 39. Osamu W, 1992. Direct Seeding Rice Culture in Japan : Its Technical Outlook. Farming Japan vol 26-1, 1992. P 11 – 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar